Opini

Mencegah Gerakan Radikal di Kalangan Mahasiswa

Oleh: Tria Yulia Pratiwi

Salah satu kunci sukses meningkatkan kualitas diri ialah melalui pendidikan. Perguruan tinggi merupakan fase terakhir dari pendidikan yang selayaknya mampu memberikan bekal bagi pengenyamnya untuk meneruskan tonggak estafet kepemimpinan bangsa dimasa yang akan datang. Untuk itu, pada jenjang ini mahasiswa diharapkan sudah mampu menjadi garda terdepan dari segi kemampuan intelektual.

Berbanding terbalik dengan harapan, saat ini masih banyak dijumpai mahasiswa tanpa kemampuan intelektual yang memadai. Bukti konkret dapat dilihat dari lontaran pertanyaan di dalam kelas yang memiliki kualitas rendah. Aksi-aksi turun ke jalan pun tidak terlebih dahulu diolah duduk persoalannya dengan matang. Hasilnya, permasalahan yang diangkat tidak terselesaikan dengan tuntas. Hal-hal di atas sangat mungkin terus terulang apabila mahasiswa tak memiliki sikap skeptis dan hanya serta merta menerima suatu pemahaman tanpa mempertanyakan fakta yang mendasarinya. Hal ini turut pula mengindikasikan bahwa penalaran mahasiswa dalam berpikir belum bisa dibilang cukup dan daya kritisnya masih rendah.

Menurut Chance(1986), daya kritis ialah kemampuan untuk menganalisis fakta, yang kemudian menghasilkan gagasan hingga akhirnya tercipta perbandingan yang komprehensif. Lebih jauh lagi, daya kritis juga berarti kemampuan menggambarkan suatu kesimpulan serta solusi atas suatu permasalahan. Keterampilan berpikir kritis jelas sangat memengaruhi pemikirandan langkah yang dipilih dalam proses pengambilan keputusan. Ketika mahasiswa tidak mampu berpikir kritis, makamahasiswa cenderung akan menelan mentah-mentah pemahaman yang diberikan tanpa mempertimbangkan sisi baik dan buruknya.

Kebiasaan menelaah dan mempertanyakan segala hal nyatanya mampu menjadi perisai dari berbagai macam pengaruh yang berkonotasi negatif. Dewasa ini, tak jarang mahasiswa termakan rayuan dan janji manis dari sekelompok orang yang tidak dapat dipercaya. Paham yang diinfiltrasikan pun tidak terjamin kebenarannya. Dikutip dari tempo.co(28/4/18), Badan Intelijen Negara (BIN) mengeluarkan pernyataan bahwa sekitar 39% mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia telah terpapar gerakan radikal. Gerakan ini akan mendorong perilaku individu untuk membela mati-matian suatu paham dengan cara yang ekstrem. Afiliasi dengan gerakan radikal akan memengaruhi perilaku mahasiswa dalam berkiprah baik selama menempuh pendidikan maupun ketika terjun ke masyarakat di kemudian hari.

Secara etimologi kata radikal berasal dari bahasa latin radix yang mempunyai makna “akar” dan istilah ini digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal. Kemudian dalam bahasa Inggris kata radical bermakna ekstrim, fanatik, revolusioner, ultra dan fundamental. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa, Radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara keras atau drastis. Membentengi diri dari maraknya gerakan radikal dapat dimulai dengan cara sederhana, seperti memperkaya literasi. Pengetahuan yang diperoleh dari literasi yang memadai mampu meningkatkan referensi mahasiswa sebagai bahan pertimbangan dalam menyikapi berbagai hal. Pun mahasiswa harus berani speak up ketika menjumpai sesuatu yang salah. Selain itu, menggiatkan secara rutin diskusi penalaran juga dapat membantu mahasiswa untuk menjadi lebih open minded.

Diskusi penalaran yang dilakukan secara rutin dapat menangkal maraknya infiltrasi gerakan radikal. Melihat sudut pandang orang lain melalui analisis dalam diskusi terbukti mampu mengembangkan daya pikir mahasiswa secara efektif. Cara yang harus ditempuh cukup mudah. Diskusi dapat diawali dengan mengajukan beberapa pertanyaan dasar. Hal ini akan memudahkan peserta diskusi untuk menganalisis fakta dasar mengenai tema yang akan diulas. Tahap selanjutnya adalah mencari hubungan kausalitas data-data terkait. Mengolah sebab akibat akan membantu mengeliminasi faktor-faktor yang tidak diperlukan yang terkandung dalam data. Jangan lupa, peserta juga harus didorong untuk memeriksa setiap perkiraan yang muncul di dalam forum. Apabila semua perkiraan telah dibahas, peserta diskusi dapat mengakhirinya dengan berunding untuk membentuk sebuah kesimpulan yang objektif.

Perlu dipahami bahwa serangan radikalisme tidak hanya terjadi pada aspek serangan fisik semata, tetapi justru menyasar pada pola pikir serta pandangan secara luas. Hal ini menjadi lebih berbahaya sebab mahasiswa adalah target empuk serangan-serangan dalam bentuk propaganda. Karenanya, memberikan benteng pemikiran kepada kaum muda, khususnya mahasiswa adalah sebuah keharusan, agar mahasiswa yang merupakan tonggak masa depan bangsa dapat tetap berdiri teguh dan tak tergoyahkan.

Tria Yulia Pratiwi
Mahasiswa Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button