Baru-baru ini ramai perbincangan tentang perkawinan beda agama, hal ini disebabkan dengan keluarnya Surat edaran Mahkamah agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang pada intinya menginstruksikan kepada seluruh Pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Hal ini memunculkan kebingungan dan kontroversi dikalangan masyarakat karena sebelumnya telah banyak terjadi Pekawinan Beda Agama seperti yang bisa dilihat pada data Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) sudah ada 1.425 pasangan beda agama yang menikah secara sah sejak tahun 2005.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinanpasal 1 menyebutkan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bila dilihat dari pengertian di atas bahwa perkawinan ini merupakan hak bagi setiap manusia untuk memilih pasangan hidupnya serta membangun rumah tangganya berdasarkan agama dan kepercayaannya.
Dalam beberapa hukum agama dan kepercayaan, ada yang melarang umatnya untuk melangsungkan perkawinan yang mana pasangannya berbeda agama ataupun kepercayaannya. Negara juga mendukung hal tersebut sebagaimana tertulis pada pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tapi dalam realitanya, tidak sedikit pasangan yang melangsungkan perkawinan berbeda agama dengan cara menggunakan penetapan pengadilan sebagaimana disebutkan dalam pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan “bahwa Perkawinan Beda Agama dapat dicatatkan di kantor catatan sipil jika Perkawinan Beda Agama dilakukan dengan penetapan pengadilan. Peraturan ini menyebabkan terjadinya dualisme hukum yang membuat seringnya terjadi kebingungan baik di kalangan masyarakat ataupun aparat negara.
Dikutip dari Website PN Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kabulkan Permohonan Perkawinan Beda Agama, yang mana itu tertuang dalam Putusan Nomor Register Perkara 155/Pdt.P/2023/PN Jkt.Pst. Dalam putusannya hakim mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan bahwa perkawinan antara para pemohon adalah sah menurut hukum. Padahal kalau dilihat dari peraturan yang disebutkan diatas, yang menentukan perkawinan sah itu adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaannya bukan dari Pengadilan, Pengadilan hanya memberikan izin untuk dapat atau tidaknya dicatatkan pernikahan tersebut di kantor catatan sipil bukan status sahnya perkawinan tersebut karena sahnya perkawinan itu telah dijelaskan di pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.
Permasalahan ini juga telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak tiga kali yaitu pada tahun 2010,2014 dan 2022 untuk diuji kembali terkait undang-undangnya, dalam putusannya MK menolak Permohoan Perkawinan Beda Agama dengan pertimbangan bahwa dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggungjawab agama dan negara saling berkait erat, yaitu agama menetapkan keabsahan Perkawinan sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum.
Menurut hakim konstitusi Enny Nurbaningsih pada selasa (31/1/2023) bahwa UUD 1945 menjamin Hak asasi manusia dalam membangun rumah dan malanjutkan keturunan, akan tetapi frasa perkawinan yang sah dalam UU perkawinan merupakan prasyarat dalam rangka melindungi kedua hak tersebut. Karena tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah. Artinya untuk mendapatkan kedua hak tersebut haruslah terlebih dahulu memenuhi syarat perkawinan yang sah dalam UU Perkawinan tersebut.
Terkait pasal 34 huruf a UU Administrasi Kependudukan, Hakim Konstitusi Wahidudin menyebutkan bahwa bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama, karena kepentingan negara dalam hal ini pemerintah adalah mencatat perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan dan status hukum. Dalam pasal ini mahkamah menilai sebagai pengaturan dibidang administrasi kependudukan bukan perihal keabsahan perkawinan.
Dilihat dari penjelasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa dari awal negara tidak pernah mengakui terkait Perkawinan Beda Agama dan SEMA yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) memperjelas hal tersebut agar terjadinya kepastian hukum dan membrikan arah untuk para hakim yang menangani perkara ini. Terkait Pasal 34 huruf a UU Administrasi Kependudukan, pasal tersebut hanya sebagai pedoman pengaturan dibidang administrasi kependudukan bukan sebagai pengesahan perkawinan.
Lebih lanjut, UU Administrasi Kependudukan haruslah direvisi, karena peraturan ini haruslah menyelaraskan kembali dengan peraturan yang ada dalam hal ini pencatatan pernikahan. Dalam UU Perkawinan sudah jelas prasyarat sahnya perkawinan dan pencatatanya status hukumnya haruslah menyelaraskannya, sehingga bisa terlihat jelas ketegasan dalam penetapan hukum dan tidak terjadinya dualisme hukum sebagaimana yang terjadi pada perkawinan beda agama.(*)