Opini

Tantangan dan Solusi untuk Generasi Z di Bidang Pendidikan

Oleh : Jessica Nurwidya M.

OPINI – Kehadiran Generasi Z yang menggantikan Generasi Milenial cukup membuat dunia waspada. Memasuki tahun 2021 ini, Generasi Z sudah berada di penghujung masa jayanya. Bisa dikatakan, saat ini Generasi Z kelahiran tahun 2003 sudah bisa mendaftar ke jenjang perguruan tinggi untuk tahun ajaran baru mendatang. Sebelumnya terjadi sedikit perdebatan untuk batas usia bagi generasi milenial, tapi Tirto.id (2017/04/28) dapat menarik kesimpulan bahwa mereka yang lahir di generasi internet—generasi yang sudah menggunakan keajaiban teknologi usai kelahiran internet—adalah para Generasi Z. Singkatnya, mereka yang lahir tahun 1996 – 2010 dikategorikan sebagai Generasi Z.

Generasi Z

Pada suatu kesempatan Bruce Tulgan (2013), seorang pembicara sekaligus penemu RainmakerTinking, Inc. menyebutkan bahwa ada Generasi Z memiliki 5 ciri umum yang paling mencolok. Pertama, media sosial. Bisa dikatakan bahwa Generasi Z adalah generasi yang mengasingkan diri dan tidak benar-benar mengenal dunia dan manusia lain. Disini, media sosial hadir sebagai jembatan atas keterasingan tersebut dan menjadi media semua orang untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi.

Sikap ini menyebabkan generasi ini menjadi pribadi pendiam dan penyendiri. Sebagai sosok intovert, generasi ini suka bekerja dalam diam karena menemukan energi dan semangat belajar dalam keheningan. Namun, tidak menutup kemungkinan jika mereka akan berekspresi jika bertemu teman satu pemikiran dengannya. Meskipun, kebanyakan dari mereka lebih sering bertemu dengan sosok di dunia maya.

Selain ciri pertama tersebut, ciri kedua juga semakin mempertegas sisi intovert generasi ini karena mereka juga memiliki karakter yang individual. Generasi Z lebih suka bekerja sendiri daripada bekerja dalam tim. Mereka cenderung menolak hubungan maupun interaksi langsung dengan masyarakat, khususnya dalam hal persaingan. Maka, tidak mengherankan jika banyak siswa pada generasi ini yang suka bekerja sendirian saat ada tugas kelompok.

Persaingan yang semakin ketat ini membentuk suatu kesenjangan keterampilan yanng menjadi ciri Generasi Z. Kesenjangan keterampilan ini dibuktikan dengan maraknya bimbel di Indonesia. Semakin terkenal bimbel tersebut, maka semakin mahal biayanya. Terkenalnya suatu bimbel dibuktikan dengan banyak siswa didikan mereka yang diterima di kampus ternama di Indonesia. Mereka yang berhasil masuk kampus ternama diyakini bisa bekerja di perusahaan elit jika lulus dengan IPK yang memuaskan. Secara tersirat, bimbel ini menjadi pembentuk kasta dalam generasi ini. Mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang mencukupi pasti bisa mendapatkan tempat bimbel bergengsi yang ditutori oleh pengajar profesional.

Keempat, generasi digital. Generasi Z lebih suka berinteraksi dan berkeliling dunia secara virtual dengan bantuan koneksi koneksi internet. Meskipun demikian, ini yang memicu Generasi Z berpikir global dan lebih luas. Hal ini menyebabkan munculnya sejumlah star-up berbasis pendidikan yang berlomba-lomba menawarkan pembelajaran online kepada siswa. Mereka menawarkan pembayaran paket belajar melalui e-money atau pembayaran transfer bank. Menariknya, star-up ini selalu memiliki kumpulan soal dari tahun ke tahun secara digital membuat siswa tidak perlu ke perpustakan. Sama halnya dengan Perpusnas yang menawarkan e-book legal secara gratis untuk anggotanya.

Kelima, Generasi Z adalah sosok yang open-minded. Mereka sangat terbuka dan bisa menerima pandangan dan pola pikir orang lain. Tapi dampaknya, mereka tidak bisa menjadi dirinya sendiri karena kesulitan menemukan jati diri sebab kerap kali berubah seirama pola pikir yang mempengaruhi. Hal ini dipertegas dengan adanya salah penafsiran dari open-minded. Dikutip dari mojok.co bahwa semakin lama open-minded menjadi sesuatu yang negatif di mata masyarakat. Banyak yang menjadikan open-minded sebagai ‘tameng’ mereka yang beropini ngawur dan tidak terkontrol.

Karakteristik Generasi Z

Dikutip dari puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id (2021/02/04) Generasi Z dengan segala sesuatu yang diinginkan membuat mereka memiliki karakter hiperkustomisasi dan realistic. Karakteristik hiperkustomisasi mengarah pada kemerdekaan Generasi Z dalam belajar. Mereka bisa menemukan segala kebutuhannya sendiri melalui internet. Orang tua maupun orang dewasa lainnya sudah bisa mengendalikan hal ini. Internet juga menyediakan berbagai jenis dan judul jurnal maupun buku pelajaran secara digital. Generasi Z juga bisa mengatur sendiri waktu belajar sesuai kemampuan diri mereka. Generasi Z sangat tidak suka dikekang dan serba diatur. Kenyaman belajar adalah fokus utama bagi Generasi Z.

Karakter weconomist merupakan karakter lainnya dari Generasi Z. Yang menyebabkan mereka mampu mengambil keputusan dengan lebih pragmatis, sistematis, dan analitis. Kenyamanan berinteraksi banyak didapatkan dari interaksi yang bersifat virtual, sama halnya dengan belajar. Generasi ini lebih nyaman menyerap ilmu pengetahuan secara daring karena platfrom bisa membuat mereka memilih sendiri tentor mereka.

Tantangan dan Solusi di Dunia Pendidikan

Dengan memiliki karakter seperti itu dan ‘terbiasa’ dilengkapi fasilitas teknologi yang canggih, Generasi Z memiliki sejumlah halangan dalam caranya menuntut ilmu. Hal selaras disampaikan oleh Prof. Dr. Astin Lukum, M.Si dalam laman jurnal.fkip.unmul.ac.id (2019) menyebutkan mengenai sejumlah tantangan yang dialami Generasi Z dan solusi yang dunia pendidikan coba tawarkan.

Pertama, Generasi Z merasa tidak perlu belajar karena sudah menemukan banyak informasi hanya dengan internet. Information overload di internet membuat Generasi Z mulai meremehkan pentingnya bangku pendidikan. Hal ini dipertegas dengan mudah dan murahnya biaya paket belajar online yang ditawarkan oleh star-up. Ditambah dengan maraknya seminar mengenai sukses di usia muda.

Dalam kasus ini, guru perlu mengganti presepsi mereka sebagai pengajar. Guru tidak boleh merasa paling pintar dan benar. Hal ini didukung oleh Kemdikbub dengan adanya Uji Kompetensi Guru bagi seluruh guru di Indonesia. Selain itu, guru bisa menawarkan gaya belajar hands-on melalui metode pembelajaran flipped classroom. Tujuannya agar peserta didik belajar aspek-aspek teoretik pengetahuan di rumah dan melakukan praktik di kelas.

Kedua, Generasi Z lebih melek teknologi daripada guru dan berujung mengabaikan guru. Hal ini berdampak pada tingginya biaya sekolah yang menerapkan fasilitas berbasis teknologi demi mendukung keseimbangan melek teknologi antara siswa dan guru. Untuk mengatasi masalah ini, sekolah dan kampus kerap kali menawarkan sejumlah beasiswa prestasi bagi mereka yang membutuhkan. Apalagi syarat utama yang digais bawahi adalah memiliki nilai tinggi. Hal ini bisa menjadi salah satu motivasi bagi Generasi Z untuk lebih berprestasi.

Ketiga, Generasi Z mudah bosan dengan metode ‘ceramah’ dari guru dan lebih tertarik dengan proses pengajaran praktek lapangan. Tantangan ini dapat diakali oleh guru dengan membuat suatu kolaborasi dan dalam interaksi sosial sebagai pendekatan utama yang digunakan dalam pengembangan kompetensi. Tujuannya untuk lebih memperkenalkan budaya lainnya. Misalnya dengan kunjungan belajar ke museum, cagar alam, atau candi.

Guru juga mengizinkan adanya fleksibilitas dalam proses pembelajaran dalam bentuk blended learning, yang memungkinkan peserta didik berinteraksi, berkolaborasi dan saling belajar satu sama lain, baik dalam kelas tatap-muka maupun secara daring. Contoh lainnya seperti untuk merayakan ulang tahun sekolah yang diisi dengan pensi. Pensi ini diisi oleh perwakilan siswa di masing-masing kelas. Bisa juga dengan classmeeting yang diisi dengan pertandingan olahraga antar kelas atau jurusan. Kegiatan non akademik ini juga meningkatkan kerjasama antar sesama Generasi Z agar menjadi lebih terbuka dengan lainnya/

Keempat, Generasi Z memiliki rasa ambisius tinggi, sehingga mereka lebih handal dan memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai keberhasilan dibanding generasi sebelumnya. Guru harus bisa mengembangkan soft-skills siswa, seperti kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah. Seperti melakukan diskusi kecil yang sudah ditetapkan tema masalahnya atau presentasi yang mewajibkan kelompok lain bertanya sesuai bahan ajar yang dipresentasikan.

Perubahan karakteristik antar generasi harus disikapi secara terbuka oleh guru. Guru harus mampu menerima perubahan dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi, sehingga relasi guru dan siswa bisa terjalin dengan baik dan saling melengkapi dan memberi perubahan berarti bagi dunia. Penyampaian ilmu pengetahuan tidak terlepas dari cara memahami karakter siswa, lalu menemukan hambatannya dan menyelesaikan dengan baik dan benar.

[Disusun oleh Jessica Nurwidya Milliniva, Mahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button