GadgetHeadlineOpini

Perlukah Anak Sekolah Dikenalkan AI Sejak Dini?

Oleh Jumardi Salam

Opini – Waktu saya kecil, guru paling galak di sekolah bukan hanya milik guru matematika, tapi juga guru mengetik. Dia berdiri di belakang kami, matanya seperti elang. Kalau ada yang melirik ke keyboard, langsung disemprot: “Hafalin! Jangan lihat!”

Hari ini? Anak-anak tidak lagi belajar mengetik. Mereka bicara pada mesin. Lalu mesin membalas, lengkap dengan titik koma. Bahkan bisa bikin puisi.

Bukan mengetik yang jadi skill utama. Tapi bagaimana cara bicara dengan AI. Dan ini, belum masuk kurikulum.

Bocah zaman sekarang bisa lebih paham ChatGPT daripada wali kelasnya. Bisa lebih jago pakai Midjourney daripada guru seninya. Bukan karena mereka pintar, tapi karena mereka berani coba.

Pertanyaannya bukan, “Apakah AI akan masuk ke dunia anak-anak?”

Sudah masuk.

Pertanyaannya: siapa yang akan mendampingi mereka?

Hari ini, AI tidak lagi ada di laboratorium MIT atau di tangan insinyur Tesla. Ia sudah di HP. Sudah di TikTok. Sudah di game. Bahkan, ada di PR anak-anak sekolah.

Tapi pertanyaannya bukan apakah anak-anak akan pakai AI atau tidak. Mereka pasti akan. Pertanyaannya: apakah mereka diajari cara memakainya dengan benar?

Itu yang masih jarang.

Guru-guru, kebanyakan, masih gagap. Dosen pun baru tahap mengenalkan AI sebagai “alat bantu plagiarisme.” Padahal, AI bukan sekadar alat bantu. Ia adalah konteks baru pendidikan.

Saya ingat ketika dulu internet mulai masuk ke sekolah. Banyak yang takut. Takut murid jadi malas. Takut murid cari contekan. Takut guru tidak dihormati.

Sekarang, ketakutan itu bergeser. Bukan takut murid malas, tapi takut murid lebih cepat belajar daripada gurunya. Takut guru tertinggal.

Tapi bukankah itu seharusnya bikin kita semangat?

AI itu seperti pisau dapur. Tajam, iya. Tapi bukan untuk ditakuti. Anak-anak bisa diajari pakai pisau sejak kecil — asal diawasi. Asal diarahkan. Begitu juga AI. Jangan ditutup. Jangan dilarang. Justru harus dijadikan pelajaran.

Bukan soal prompt-nya. Bukan sekadar teknisnya. Tapi etika pakainya. Tujuannya. Logika berpikirnya.

AI bisa bantu bikin esai. Tapi anak tetap harus tahu cara berpikir. AI bisa jawab soal. Tapi anak tetap harus paham prosesnya. AI bisa nyari ide. Tapi anak tetap harus bisa memilah mana ide yang masuk akal dan mana yang sampah.

Masa depan tidak bisa ditunda. Tapi pendidikan bisa dipercepat. Kalau dulu sekolah mengajarkan cara mengetik, sekarang harus mulai mengajarkan cara berpikir bersama mesin. Bukan biar anak jadi robot. Tapi biar mereka tetap manusia, di tengah dunia yang makin digital. (*)

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button