Penetapan tarif royalti terhadap penggunaan musik pada pelaku usaha menjadi topik yang hangat dibicarakan dan menjadi keresahan bagi sebagian pelaku usaha. Tempat-tempat umum seperti cafe, restoran, gym, dan bahkan warung kecil kerap kali memutar musik untuk membentuk suasana yang asik. Namun tampaknya tarif royalti aktif kembali pasca laporan LMK (Lembaga Management Kolektif) atas dugaan pelanggaran Hak Cipta oleh Rumah Makan Gacoan.
Tarif Royalti sendiri merupakan imbalan yang harus dibayar oleh seseorang atas penggunaan suatu karya yang dikomersilkan sebagai bentuk kompensasi atas pemberian izin penggunaan karya. Sehingga, royalti dianggap penting bagi seniman karena sebagai bentuk dukungan, pendapatan dan perlindungan ekonomi bagi penciptanya.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 18 Tahun 1997 Indonesia telah menandatangani Konvensi Berne untuk perlindungan karya sastra dan seni atau Convention Berne for Protection for Literary. Namun sebelum menandatangani Konvensi Berne Indonensia juga telah memiliki Undang Undang hak ciptanya sendiri yaitu Ateurswet 1912. Maka dari itu, Indonesia memiliki kewajiban untuk turut serta dalam perlindungan hak cipta. Tujuan dari bergabungnya Indonesia dalam Konvensi Bern sendiri adalah karena untukmendapatkan perlindungan secara Internasional.
Namun di sisi lain pengadaan tarif royalti ini, justru menimbulkan ketakutan dan dianggap memberatkan pelaku usaha. Jika melihat dari besar pendapatan, tentu tarif royalti ini akan memberatkan pelaku usaha kecil seperti UMKM dan cafe-cafe kecil, karena tarif royalti yang diberikan tidak sepadan dengan pendapatan yang dihasilkan. saat ini beberapa cafe lebih memilih untuk senyap tanpa musik, memutar musik barat, instrumental dan bahkan ada yang hanya memutar suara burung. Pada cafe dan resto sendiri dikenakan tarif royalti sebesar 60 ribu per kursi per tahun.
Lalu bagaimana agar tidak memberatkan pelaku usaha namun juga tetap menghargai dan mendukung seorang musisi?
Pemerintah dapat mengenakan tarif royalti berdasarkan golongan pendapatan. Maka dari itu pemerintah perlu meninjau kembali terkait regulasi tarif royalti agar tetap menunjukkan keadilan antara musisi dengan penikmat musik dan pelaku usaha. Selain itu dalam pengenaan tarif royalti ini diperlukan adanya transparansi dalam penyaluran tarif yang telah dibayar. Beberapa musisi menyatakan bahwa royalti yang diterima tidak sebanding dengan royalti yang seharusnya diterima. Namun beberapa musisi lainnya melegalkan untuk memutar musik tanpa membayar royalti karena dengan mendengarkan karyanya itu sudah termasuk ke dalam bentuk promosi yang menguntungkan.
Pada dasarnya royalti merupakan hal penting yang menjadi pendukung bagi para seniman. Seorang seniman akan tetap membutuhkan dukungan untuk karya karya terbaik selanjutnya. Maka, penting untuk membayar royalti bagi pengguna karya yang dikomersilkan. Dengan membayar royalti seseorang juga dapat menggunakan suatu karya dengan bebas dan legal. Namun, pemberian tarif royalti pada pelaku usaha harus sesuai dan berdasarkan golongan pendapatan, agar tidak memberatkan pelaku usaha. Sehingga, tetap memberikan keadilan antara seniman dengan pelaku usaha.
Oleh :
Challista Meyliana Ayudhafari
Mahasiswa Hubungan Internasional Fisip Unmul