Menuju Museum Daerah Kutim: Ikhtiar Menjaga Jejak Sejarah dan Identitas

SANGATTA — Rencana pembangunan Museum Daerah Kutai Timur (Kutim) mulai mencuat sebagai agenda kebudayaan strategis, seiring pembukaan Festival Pesona Budaya 2025 di Lapangan Helipad Bukit Pelangi, Jumat malam (21/11/ 2025). Gagasan ini diangkat sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah untuk memperkuat ekosistem pelestarian budaya, sekaligus mendorong pendidikan sejarah berbasis lokal.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kutim, Padliansyah, menyebut museum bukan sekadar bangunan atau tempat penyimpanan benda cagar budaya, melainkan simbol identitas daerah dan ruang belajar lintas generasi.
“Museum bukan tempat menyimpan masa lalu yang diam. Ia adalah ruang pengetahuan, tempat masyarakat menemukan siapa mereka,” ujar Padliansyah.
Untuk pertama kalinya, sejumlah koleksi cagar budaya Kutim yang sebelumnya hanya tersimpan di kantor dinas dan sekolah—dipajang ke publik di festival ini. Langkah itu disebut sebagai “preview peradaban” sebelum lahirnya museum daerah.
Sebagai wilayah yang dihuni komunitas Kutai, Dayak, Banjar, Bugis, Jawa, dan berbagai etnis lain, Kutim dikenal sebagai kawasan plural yang memiliki tradisi panjang dalam sejarah budaya pesisir dan pedalaman. Namun, sebagian besar warisan itu belum terdokumentasi secara sistematis.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah catatan sejarah, manuskrip, alat kesenian tradisi, hingga artefak peninggalan kolonial mulai mengalami kerusakan karena penyimpanan yang tidak ideal.
“Jika tidak ada ruang yang secara khusus dirancang, sebagian dari warisan kita akan hilang tanpa jejak,” kata Padliansyah.
Meski gagasan museum mendapat dukungan publik, Padliansyah mengakui proyek ini tidak ringan. Tantangan utama berada pada: pembiayaan bangunan dan sistem konservasi, kurangnya tenaga kurator dan ahli konservasi, dan basis data koleksi yang masih tersebar. Menurutnya, museum membutuhkan standar penyimpanan modern, sistem katalog digital, ruang edukasi, serta strategi pengelolaan yang berkelanjutan.
Wakil Bupati Kutim Mahyunadi, dalam sambutannya memberikan sinyal positif terhadap rencana itu. Ia menyebut museum bukan hanya fasilitas budaya, tetapi bagian dari strategi penguatan identitas daerah dan literasi sejarah masyarakat.
“Kita ini miniatur Indonesia. Maka, warisan budaya adalah fondasi persatuan. Museum bisa menjadi ruang untuk merawat memori kolektif dan menghidupkan kebanggaan daerah,” ujar Mahyunadi.

Padliansyah menargetkan dua hingga tiga tahun sebagai masa perencanaan dan pembangunan museum, termasuk persiapan regulasi, penataan koleksi, kurasi, dan desain ruang publik.
Festival Pesona Budaya tahun ini disebut sebagai pijakan awal— sebuah ruang eksibisi terbuka untuk membangun kesadaran publik bahwa pelestarian budaya membutuhkan kolaborasi.
“Kami berharap museum ini lahir dari dukungan bersama, bukan hanya dari pemerintah,” tambahnya.
Jika rencana ini terealisasi, Museum Daerah Kutim akan menjadi tonggak penting dalam perjalanan kebudayaan daerah. Museum ini diharapkan bukan sekadar bangunan, tetapi ruang ingatan, pusat edukasi, dan tempat generasi muda membaca kembali masa depan melalui warisan tradisi.(Adv).




